Banjir bandang dan tanah longsor yang kian masif dan mematikan di berbagai wilayah Sumatera, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, bukanlah sekadar “musibah alam” biasa yang hanya dipicu oleh curah hujan ekstrem.

Tragedi berulang ini adalah krisis ekologis yang menunjukkan dampak nyata dan mematikan dari deforestasi masif serta kerusakan ekosistem hutan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Opini ini berargumen bahwa kerusakan hutan adalah faktor penentu yang memperparah intensitas bencana hidrometeorologi di Sumatera, dan pemerintah serta korporasi harus bertanggung jawab penuh atas pembiaran dan eksploitasi alam yang terjadi.

Akar Masalah: Hutan Gundul di Hulu DAS

Hutan alam, terutama di kawasan hulu DAS, memiliki fungsi hidrologis krusial sebagai “spons alami”.

Kanopi pohon akan mengurangi energi jatuhan air hujan, serasah dan akar-akar menahan dan memperlambat aliran air, sementara tanah yang sehat mampu menyerap air dalam jumlah besar, melepaskannya perlahan ke sungai sebagai aliran dasar (debit minimum) saat musim kemarau.

Namun, di Sumatera, deforestasi telah mengurangi fungsi benteng alam ini secara drastis. Data menunjukkan bahwa di banyak wilayah kritis, tutupan hutan alam kini kurang dari 25%.


Penebangan liar, konversi hutan menjadi perkebunan monokultur (terutama kelapa sawit), pertambangan, dan pembangunan infrastruktur telah meratakan hutan di lereng-lereng curam. Ketika hutan hulu ini lenyap atau terdegradasi, siklus hidrologi menjadi kacau:

Run-off Cepat : Air hujan langsung meluncur ke permukaan tanah tanpa hambatan, menyebabkan erosi tanah yang parah.

Sedimentasi Tingg i: Tanah yang tererosi (lumpur, pasir, batu, dan kayu gelondongan) masuk ke sungai, mempercepat pendangkalan, dan yang lebih fatal, menciptakan material yang dibawa oleh banjir bandang.