Banjir besar yang kembali melumpuhkan sejumlah wilayah di Sumatera menunjukkan bahwa pemerintah masih gagal belajar dari bencana-bencana sebelumnya. Pola responnya tetap sama: cepat dalam memberi pernyataan, lambat dalam pencegahan. Padahal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan mitigasi sebagai kewajiban negara, bukan sekadar imbauan musiman.

Ironisnya, banyak daerah terdampak justru berada di kawasan yang sudah lama diperingatkan rawan bencana, tetapi perizinan tambang, alih fungsi hutan, dan pembangunan tetap diberi jalan. Ini membuat implementasi UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkesan hanya formalitas, ada di atas kertas, tapi tak benar-benar dijalankan.

Kritik terbesar kami sebagai mahasiswa adalah: negara hanya sibuk membangun narasi “bencana alam”, seolah semua semata akibat cuaca ekstrem. Padahal kerusakan ekologis yang ikut memperparah banjir adalah hasil dari keputusan politik, kebijakan yang longgar, serta minimnya pengawasan. Kalau fondasi hukumnya sudah jelas tapi tidak ditegakkan, maka bencana seperti ini bukan lagi tragedi, tapi kelalaian struktural.

Sudah saatnya pemerintah berhenti reaktif dan mulai berani menindak pelaku perusakan lingkungan, memperbaiki tata ruang, memperketat izin usaha, dan secara konsisten menjalankan amanat UU. Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang siklus: banjir datang, warga jadi korban, pemerintah hadir belakangan.”

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Krisis Banjir Sumatera : Tinjauan atas Implementasi UU penanggulangan Bencana”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/diazardiansyahalbar7810/693273cb34777c33b32d54e2/krisis-banjir-sumatera-tinjauan-atas-implementasi-uu-penanggulangan-bencana

Kreator: Diaz Ardiansyah Albar

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com